DPRD KALTIM– Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) meminta PT Berau Coal dan enam kelompok tani (Poktan) di Kabupaten Berau, Provinsi Kaltim yang bersengketa untuk dapat membawa dokumen pada pertemuan selanjutnya yang akan dijadwalkan ulang.
Hal tersebut dilakukan karena pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang rapat Gedung E Lantai 1 Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Kamis (16/11/2023), perwakilan PT Berau Coal tidak membawa data dan dokumen lahan yang telah mereka bebaskan.
Permasalahan bermula dari lahan seluas 1.000 hektare lebih dari enam Poktan yang belum dibebaskan oleh PT Berau Coal. Lahan tersebut berada di dalam dan di sekitar konsesi perusahaan tambang batu bara tersebut.
Berau Coal mengaku telah melakukan pembayaran pembebasan lahan. Namun setiap pertemuan mediasi yang dilakukan di Berau, perusahaan tidak pernah membawa bukti dokumen lahan mana saja yang telah mereka bebaskan. Karena berlarut-larut, enam kelompok tani ini pun mengadukan permasalahan itu ke Komisi I DPRD Kaltim.
Ketua Komisi I Baharuddin Demmu mengungkapkan hal tersebut usai memimpin RDP bersama enam poktan dari Berau, tokoh masyarakat adat Benua dan perwakilan manajemen PT Berau Coal. Rapat itu membahas masalah pembebasan lahan yang belum dibayar. “Kita meminta semua dokumen pembebasan lahan yang dilakukan PT Berau Coal akan kita cek apakah lahan yang diklaim oleh rakyat ini adalah yang sudah dibebaskan atau belum,” ujarnya.
Politisi Partai Amanah Nasional (PAN) ini mengungkapkan, permasalahan terjadi karena enam kelompok tani tersebut merasa belum pernah mendapatkan ganti rugi dari Berau Coal. Namun perusahaan berkeyakinan sudah membayar ganti rugi lahan kepada kelompok tani. “Maka pada pertemuan selanjutnya, baik enam kelompok tani maupun perseorangan harus membawa dokumen. Begitu juga PT Berau Coal, dia harus bawa karena jangan sampai yang dibebaskan itu tempatnya tidak di situ,” terang wakil rakyat dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara ini.
Sebenarnya lanjut Baharuddin Demmu, permasalahan ini sudah pernah dibahas di Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) yang hasilnya kemungkinan ada pemalsuan surat tanah yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Sehingga menurutnya, ada unsur pidana jika permasalahan ini dibawa ke jalur hukum. “Ini juga sudah ditangani oleh Kementerian Polhukam dan sudah beberapa kali pertemuan. Hasilnya, kalau kita melihat dari rekomendasi itu memang kemungkinan ada ranah pidana. Bahwa mungkin ada pembuatan surat yang dipalsukan. Tapi ini masih berproses,” jelasnya lagi. []
Penulis: Riyan
Penyunting: Dita Allia Meidira